Jumat, 07 Januari 2011

Beranda » Stroke Bisa Menyebabkan Cacat

Stroke Bisa Menyebabkan Cacat

Merawat stroke terlihat sederhana, namun terkadang sulit dilakukan. Itu sebabnya, keahlian dan kepedulian sangat dibutuhkan dalam merawat pasien pascastroke di rumah.


Stroke masih merupakan problem utama dan angka penderitanya semakin meningkat. Di Amerika Serikat (AS), terdapat 700.000 pasien baru setiap tahunnya. Sementara, prevalensi stroke di Indonesia menurut data Kementerian Kesehatan meningkat tajam.

Stroke awalnya berada di urutan ketiga, kini menjadi urutan pertama penyebab kematian di Indonesia dan telah melewati penyakit yang selama ini telah mendominasi sebagai penyebab kematian terbanyak di Indonesia yaitu kanker dan jantung.

Ahli saraf dari Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof dr Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma SpS (K) mengatakan, stroke merupakan penyakit yang diidentikkan dengan datang atau menyerang secara tiba-tiba.

Stroke merupakan suatu istilah umum bagi gangguan fungsi otak yang terjadi akibat adanya kegagalan sirkulasi darah otak karena adanya gangguan pembuluh darah ke atau di otak.

“Selain menyebabkan kematian, stroke juga menjadi penyebab kecacatan utama,”

Meningkatnya prevalensi stroke di Indonesia tidak terlepas dari perubahan pola hidup akibat kemajuan ekonomi. Ahli saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM),Yogyakarta, Prof dr Harsono SpS (K), mengatakan bahwa stroke pada umumnya terjadi melalui “persiapan” yang cukup lama berupa faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan atau diubah maupun faktor risiko yang sebenarnya dapat dikendalikan.

Banyak orang yang memiliki pengetahuan terbatas tentang stroke sehingga tidak sedikit juga yang mengartikan bahwa stroke merupakan kejadian “lumpuh separuh tubuh” yang mendadak. Hal itulah yang merugikan pasien karena akan terjadi keterlambatan dalam penegakan diagnosis dan evaluasi dini. Dari keterlambatan itu pula, maka akibat yang ditimbulkan berbeda-beda.

“Sepulangnya dari rumah sakit,pasien stroke banyak yang harus menjalani program rehabilitasi di rumah,” ujar Harsono.

Rehabilitasi dimulai sejak terjadinya (awitan) stroke, atau sesegera mungkin sepanjang keadaan memungkinkan, dan diteruskan untuk jangka panjang, terutama di rumah pasien. Perawatan di rumah dilakukan ketika ancaman terhadap kehidupan sudah negatif atau tidak adanya komplikasi yang berarti.

Sering kali ketika pulang, pasien pascastroke masih mengalami gejala sisa yang dialami akibat stroke, seperti keadaan kehilangan motorik (hemiplegi) atau ada juga pasien yang pulang dengan keadaan bedrest total, kehilangan komunikasi atau kesulitan berbicara (disatria), dan lain-lainnya.

“Penanganan fisioterapi pascastroke adalah kebutuhan yang mutlak bagi pasien untuk dapat meningkatkan kemampuan gerak dan fungsinya,”

Untuk melakukan rehabilitasi di rumah, sebaiknya keluarga perlu diberikan pelatihan tentang perawatan pasien secara praktis di rumah. Perawatan ini dapat bersifat sederhana karena masalah yang ada memang sedikit.

Namun, dapat juga bersifat rumit karena masalah yang ada pada pasien bisa beragam atau kompleks. Kesiapan mental seluruh anggota keluarga pasien stroke perlu diperhatikan oleh staf medik dan paramedik. Artinya, ketika pasien masih dirawat di rumah sakit, maka pihak dokter dan perawat perlu mengenalkan persiapan mental kepada keluarga pasien sejak dini.

“Pengenalan persiapan mental ini harus disajikan secara arif, tidak bersifat menakut-nakuti agar seluruh anggota pasien stroke memahami seluk-beluk perubahan pasien secara proporsional,”

Umumnya, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga pasien, antara lain afasia (gangguan linguistik atau tata bahasa yang dijabarkan sebagai sebuah penurunan dan disfungsi dalam isi, bentuk, penggunaan bahasa,dan terkait dengan proses kognitif), inkontinensia, depresi, mudah marah, nyeri, spastisitas, sulit tidur, kesulitan menelan, dekubitus.

“Lakukan kegiatan agar pasien merasa ada variasi dalam hidup, seperti melakukan aktivitas sosial seperti pertemuan keluarga, olahraga ringan atau senam stroke. Dengan kegiatan seperti ini, maka pemulihan pasien pun bisa cepat terlaksana,”

Harsono juga mengingatkan untuk memperhatikan kebutuhan seks penderita stroke. Kebutuhan ini tidak perlu selalu diartikan sebagai melakukan hubungan seksual antara suami dan istri, tetapi juga secara psikologis kebutuhan seks ini dapat berupa kasih sayang dari suami atau istri pasien atau merasa diperhatikan dan dihargai atau juga tidak dibiarkan dalam kesendirian.

Dalam kasus tertentu, pihak keluarga dapat mengalami kesulitan atau tekanan psikologis karena adanya perubahan perangai pasien yang sulit dipahami dan/atau dikendalikan. Itu sebabnya keluarga harus memiliki kesabaran dan pengertian saat merawat pasien stroke di rumah.

Walaupun terlihat sepele, fasilitas pasien stroke yang dirawat di rumah juga harus diperhatikan, seperti kamar atau tempat tidur dengan cahaya dan aliran udara yang baik, blender, dan alat makan dan minum, alat bantu untuk berjalan, dan jika keluarga yang cukup mampu,maka perawatan di rumah bisa dibantu oleh tenaga pramurukti.

“Keluarga yang tidak mengerti bagaimana cara merawat pasien stroke di rumah, bisa memperlambat pemulihan, bahkan bisa memperparah keadaan pasien stroke. Itu sebabnya edukasi, kasih sayang, dan kepedulian untuk merawat pasien harus ditumbuhkan bagi mereka yang merawat pasien stroke,”

Edukasi bagi keluarga pasien stroke mengenai tata cara penanganan pasien stroke di rumah (home programe) akan sangat bermanfaat dalam mengembalikan kemampuan gerak dan fungsi pada pasien pascastroke.

www.orde-baru.blogspot.com